SEPENGGAL EPISODE POSO TERBANTAI
(Tim Medis Pos Keadilan Peduli Ummat Jawa Timur untuk Kerusuhan Poso)
Selamat tinggal Bandara Juanda Surabaya, do’akan saya dapat mengemban amanah perjuangan ini dengan baik, keselamatan dan keberkahan dari Allah SWT semoga senantiasa beserta kita semua. Sesungguhnya kesempatan pada kali ini teramat sulit untuk kita dapatkan, hanya Allah semata yang mampu berkehendak, tidak ada yang dapat menahan kehendakNya. Sebenarnya teramat berat kaki ini untuk meninggalkan kota Surabaya, berapa banyak amanah yang harus saya tinggalkan namun demi rasa ukhuwah sesama Muslim amanah ini kita laksanakan juga. Semoga Allah SWT berkenan dan memberkati perjalanan ini.
Setelah singgah beberapa menit, Bandara Sepinggan Balikpapan berlalu sudah. Pemandangan pegunungan yang lebat dengan hutan hijaunya tidak kelihatan lagi, yang tampak hanya lautan luas nan biru dan tenang. Perlahan akhirnya daratan yang terhampar dengan pemandangan yang indah mulai kelihatan lagi. Yaa Pulau Sulawesi dengan pegunungannya yang tidak terlalu tinggi mulai menyapa ramah, hamparan hijau yang luas, lengkak-lengkok aliran sungai yang dalam didukung kondisi awan yang sangat bersahabat menghilangkan pemandangan yang harusnya tampak lebih jelas dihadapan kita yakni gambaran perjuangan segelintir kaum yang tangah mempertahankan haknya demi dapat terlaksananya pengabdian kepada Rabbnya Allah Azza Wa Jaala.
Pendaratan sangat sempurna di Bandara Mutiara Palu dan sambutan menawan dari sejawat PKPU Palu menghilangkan kepenatan selama perjalanan. Perjalanan selanjutnaya adalah perjalanan berliku penuh tantangan dan tekanan psikis yang tidak pernah terbayangkan ketika suasana aman, damai dan tenang sedang kita nikmati. Sungguh, amat mahal kondisi nyaman tersebut manakala Allah sudah berkehendak untuk mencabutnya sementara manusia tengah asyik menikmati. Tiada kata yang lebih indah yang dapat kita ucapkan selain kita senantiasa memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kepada kita kebebasan untuk menikmati segarnya udara ini.
Usai sudah persiapan di kota Palu untuk mendirikan PKPU di Kabupaten Poso. Kota Poso yang berjarak 219 Km dari Palu teryata perjalanan darat hanya bisa kita tempuh sampai di Kecamatan Parigi Kabupaten Donggala yang berjarak 76 Km dari Palu. Di Parigi inilah saya dapati kurang lebih 10.000 pengungsi dari Poso, pemandangan menyedihkan terlihat disana, mereka terkumpul di 4 lokasi penampungan diantaranya di bekas kantor PU, bekas kantor Pengairan, Gedung Polsek lama dan di kantor Bupati lama. Dengan pakaian ala kadarnya, makan dan minum tergantung dari bantuan orang lain itupun paling hanya beras dan supermi, kondisi lingkungan yang sangat jauh dari standar hygiene dan sanitasi lingkungan yang akhirnya penyakit diare, muntah-muntah dan batuk pilek menjadi pemandangan berikutnya.
Cerita berikutnya adalah berita tentang kebodohan ummat Islam yang dibantai habis-habisan. Ada perasaan yang sangat marah sekali, ini pelecehan yang amat sangat, ditengah-tengah mayoritas Muslim Kabupaten Poso teryata kaum Nashara yang hanya 25% saja mampu bertindak biadab melebihi kebiadaban PKI, yaa semua orang mengatakan mereka lebih biadab daripada PKI. Disaat di kota Palu ayat-ayat Al-Qur’an sedang bergema merdu sekali karena ada MTQ, justru kaum Nashara Laknatullah sambil berkoar-koar “Demi darah Yesus”, mereka membantai kaum Muslimin, mencincang umat Islam, membakar rumah dan kebun umat Islam, menjarah sapi dan kambing mereka dan Masya Allah mereka menelanjangi wanita-wanita Muslim sebelum memperkosa dan kemudian membunuhnya. Cerita-cerita yang tersebar begitu menyayat hati, ada satu keluarga ayahnya dihabisi didepan istri dan anaknya, anak perempuannya diperkosa, ibunya ditelanjangi kemudian masih dalam keadaan bugil dipaksa untuk memasak menyiapkan makanan buat pasukan merah. Sungguh biadab, itu semua bukan perilaku manusia.
Di kilometer 9 Poso di Pondok Pesantren Walisongo, terjadi pembataian massal, semua dihabisi dengan cara disiksa lebih dulu, Santriwan dan Santriwati ditelanjangi kemudian diikat kebelakang dengan tali hutan (akar pohon hutan yang menjulur dari atas ke bawah pohon) selajutnya terserah mereka mau langsung dipenggal kepalanya atau dilukai dulu seluruh tubuhnya kemudian dibunuh dengan cara memenggal lehernya dari arah belakang. Dari beberapa mayat yang sempat kami jumpai di muara sungai terlihat jelas bentuk kekejaman kaum Salibis, hampir semua mayat selalu dengan tangan terikat dibelakang dan luka bacokan di tulang leher atau tulang tengkorak belakang bagaian bawah dan tidak jarang pula disertai dengan luka-luka menganga di bagian dada, seperti bekas tusukan tombak.
Sungguh sangat bergolak hati ini saat mendengar cerita-cerita tersebut, mengapa semua ini terjadi, mengapa umat Islam harus menemui ajalnya dengan cara seperti itu, mengapa anak-anak tidak berdosa harus menjadi korban. Sementara cerita mengerikan dan membakar hati tersebut kita tinggalkan, perjalanan berikutnya adalah perjalanan lewat laut. Dari parigi, perjalanan tidak dapat dilaksanakan oleh jalur darata, karena jalan darat menuju Poso sudah ditutup, pohon-pohon besar dirobohkan kejalan-jalan, kaum Nashara tidak ingin ada bantuan apapun yang akan masuk ke Poso.
Akhirnya jalan darat lumpuh total, jalan darat dari Parigi menuju kota Poso yang berjarak 133 Km terpaksa harus ditempuh lewat laut. Terbayang sudah perjalanan yang harusnya dapat ditempuh dalam waktu 3 jam akan menjadi 8-9 jam dengan tantangan yang mungkin jauh lebih berat dan menegangkan baik dari bahaya penyergapan kaum Nashara ataupun harus bertarung dengan batu karang terjal dan tajam. Bodi (perahu kecil berkapasitas 7 Ton dengan penumpang maksimal 35 orang) yang akan menjadi alat transport kami tidak mungkin mampu berlayar ke laut lepas sehingga harus menyusuri pantai yang akhirnya dapat dengan mudah dipantau oleh pasukan merah atau bahaya menerjang batu karang.
Berangkatlah bodi dari Pelabuhan Parigi, perahu kecil tersebut sarat dengan muatan berupa bantuan obat-obatan dan makanan, dengan jumlah penumpang yang cukup banyak diantaranya dari MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) Jakarta, KOMPAK (komite Penanggulangan Krisis) Sulawesi Selatan, PKPU (Pos Keadilan Peduli Ummat) Jawa Timur dan Palu dan beberapa orang yang akan turut berperang di Poso.
Perlahan bodi menuju ke tengah laut, pukul 23.00 WITA terasa amat gelap, didepan hanya terdengar hembusan angin laut dan gemericik ombak yang tenang. Suasana hening, hampir semua penumpang sudah terlelap tidur meski dengan posisi yang tidak karuan, hanya awak bodi saja yang masih terjaga dengan tugasnya masing-masing. Tiba-tiba terdengar suara “watu-watu”, dari arah depan bodi, teryata sudah tampak menghadang hamparan batu karang yang sangat menantang. Segera mesih bodi dimatikan dan perlahan-lahan kemudi diarahkan ketempat yang tidak ada batu karangnya. Alhamdulillah berhasil, tetapi tiba-tiba 20 menit kemudian sudah berdiri didepan batu karang yang menonjol diatas permukaan air laut, Alhamdulillah semua dapat diatasi dengan baik.
Teryata hambatan tidak berhenti sampai disitu saja, entah karena masinis bodi tidak mendengar teriakan awak bodi yang berada didepan atau ikut ketiduran, bodi tetap saja melaju dengan kencang meskipun hamparan batu karang yang dangkal sudah berada dihadapan kita. Kandas akhirnya bodi diatas batu karang. Suasana sangat mencekam, “mohon kepada seluruh penumpang diam ditempatnya masing-masing, jangan ada yang bergerak” teriakan awak bodi membuat jantung tidak berdetak seperti biasanya. Kayu-kayu penyangga bodi segera diturunkan, semua awak bodi mulai siap-siap untuk turun ke air, sementara penumpang terdian di tempatnya sambil mengingat-ingat kalimat apa yang tepat diucapkan saat ini. Kalimat-kalimat pujian kepada Allah SWT terus bergema lirih memohon kepada Allah agar jangan sampai bodi ini terguling. Yaa Allah Rabb Yang Maha Kuasa, akankah Engkau berkehendak menggagalkan rencana kami untuk sekedar memberi bantuan kepada saudara kami yang teraniaya di Poso. Apakah kami ini sudah Engkau anggap layak untuk menghadapMu sementara kami belum berbuat apa-apa kepada saudara kami. Apakah bantuan obat-obatan dan makanan yang kami dapatkan dari saudara kami yang peduli dengan penderitaan Muslimin Poso ini akan terbuang begitu saja ke laut sementara saudara kami di Poso sangat membutuhkannya. Yaa Allah berikanlah yang terbaik kepada kami yang lemah ini, hanya kepadaMu lah kami berlindung dan hanya kepadamulah kami memohon pertolongan. Hanya kata itulah yang dapat terucap dalam hati ini, sungguh dengan keyakinan yang tidak beralasan kami mulai merasa tegang, sambil menghibur diri kami berpikir apakah mungkin hamba yang hina ini akan ditunjuk oleh Allah SWT sebagai seorang Syuhada’ yang akan mampu memberi syafa’at kepada 70 anggota keluarganya.
Alhamdulillah, Allah SWT akhirnya memudahkan jalan kami, setelah semua awak bodi kecuali masinisnya turun ke air dan mesin bodi dihidupkan, pelan-pelan bodi terlepas dari himpitan batu karang dan akhirnya dapat berjalan kembali. Terasa lega paru-paru ini bernafas seakan penyakit Ashma yang semalaman datang menyerang sembuh sudah, harapan untuk segera berjasa kepada masyarakat Islam Poso tergambar jelas. Bayang-bayang pahala karena menolong sesama yang tengah menderita terbayang didepan mata. Yaa Allah, kuatkanlah hati ini untuk mencintaiMu dengan memberikan sebagian kecil tenaga kami untuk berbakti kepadaMu melalui pelayanan kesehatan ini.
Namun apa yang terjadi pada episode berikutnya. Begitu bodi merapat di muara disambut oleh masyarakat di Kelurahan Kayamanya dengan senyum yang terasa sangat dipaksakan. Mereka menyambut kami dengan tatapan mata yang dingin dan penuh selidik sambil tetap menenteng berbagai jenis senjata, ada yang membawa tongkat dari rotan, parang, golok dan pedang bahkan ada yang membawa senjata rakitan dengan peluru terbuat dari penthol korek api dan paku atau jarum (disebut senjata Dum-dum). Satu-persatu kami turun dari bodi dan langsung disambut oleh Habib Saleh Al Idrus, beliau adalah tokoh yang sangat disegani di kelurahan ini sekaligus berperan sebagai Panglima perang pasukan Muslim. Begitu kami semua selesai bersalam-salaman dengan Habib, tiba-tiba dengan suara yang lantang Habib berteriak keras membuat kami terkejut dan saling pandang. Kepada seluruh anak buahnya dikomando untuk menurunkan barang-barang bantuan, “ Ayo cepat-cepat ….. semua barang-barang segera diturunkan ….. sebentar jam 08.00 akan ada penyerangn dari pasukan merah ….. semua harus segera kembali ke posnya masing-masing ….. !. Kami segera menengok ke arloji masing-masing, Yaa Allah teryata kurang 10 menit lagi issu penyerangan dari pasukan merah ke kelurahan Kayamanya, mereka akan menuntut balas kepada masyarakat Kayamanya karena telah membunuh Panglima perang mereka Al Ma’un Ir. Advent L. Lateka pada peperangan 5 hari yang lalu. Yaa Allah Rabb Semesta alam, baru beberapa menit yang lalu nafas ini terasa lega sekarang terasa sesak kembali.
Perasaan cemas menyelimuti kami, semua saling bertukar pandang dengan mulut terkunci. Yaa Allah Yaa Rabbi yang menghidupkan dan mematikan makhluqNya teryata rombongan kami memasuki sarang macan, Kelurahan Kayamanya yang tampak lengang seperti kota mati karena lebih 90% penduduknya mengungsi, merupakan wilayah pertahanan pasukan Islam dan merupakan sasaran utama penyerangan Pasukan Nasrani. Apabila kelurahan ini bisa dikalahkan maka selesai sudah tugas kelompok merah sehingga mereka akan dapat menguasai kota Poso dengan kata lain apabila kelompok merah berhasil menduduki kota Poso berarti Kabupaten Poso sudah futuh menjadi daerah Kristen.
Begitulah memang keinginan mereka, mereka telah berhasil menancapkan pondasi yang kuat di wilayah Kecamatan Tentena 57 Km dari kota Poso kearah selatan dengan Pusat Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah sebagai pusatnya dan Sekolah Tinggi Theologia yang bertaraf Internasional. Mereka ingin memindahkan pusat pemerintahan Kabupaten Poso ke Tentena. Karena hal itu tidak mungkin, karena menyangkut persiapan infra dan suprastruktur pemerintahan maka satu-satunya jalan adalah mereka menguasai kota Poso dan memegang pusat pemerintahan dengan cara yang sangat tidak dapat dinalar. Inilah sifat mereka yang amat serakah dan senantiasa memaksakan kehendak kepada orang lain.
Ramah-tamah di kediaman Habib Saleh berjalan dengan aman, issu penyerangan pada pukul 08.00 tidak terbukti, orang-orang mengatakan sejak kematian Panglima Lateka pasukan merah tidak mengkin melakukan penyerangan lagi ke kota. Dari cerita-cerita yang disampaikan oleh Habib dan beberapa penduduk Kayamanya makin menambah panas hati ini, kerusuhan macam apa ini, kebiadapan yang mungkin tidak ada tandingannya sepanjang sejarah, upaya bumi hangus diderita kaum Muslimin begitu menggenaskan, nyawa melayang, kebun-kebun coklat yang siap dipanen dibabat habis, rumah-rumah dibakar diratakan dengan tanah, anak-anak kecil dibunuh kemudian dikumpulkan dalam satu karung yang berisi 4-5 mayat lalu ditusuk dengan bambu seperti layaknya ‘sate’, wanita-wanita ditelanjangi, sampai akhirnya pada cerita yang amat sangat memilukan yakni cerita tentang pembantaian massal di Pondok Pesantren Walisongo di Kecamatan Lage 9 Km dari kota Poso.
Dendam membara sedang berkecamuk di hati kaum Muslimin, sedih dan luka hati sedang menerpa ribuan umat Islam, para suami telah dibantai atau disandera tidak jelas kabarnya, mereka tidak tahu lagi harus bagaimana karena rumah dan kebunnya sudah hangus, mereka tinggal di perngungsian bersama anak-anak mereka yang tidak dapat lagi menikmati masa kecilnya yang indah. Sungguh, itu semua diluar kemampuan manusia sebagai makhluq yang lemah, ini semata-mata atas kehendak Allah SWT entah sebagai peringatan atau bahkan sebagai hukuman, yang jelas bukan merupakan ujian dikarekan pengabdian masyarakat Poso kepada Rabbnya masih sangat kurang. Yaa Allah berikanlah kekuatan kepada saudara-saudara kami, lapangkanlah hati mereka, tabahkanlah mereka, hindarkanlah mereka dari ingkar terhadap nikmat dan rahmat yang telah Engkau berikan, sadarkanlah mereka yang sedang dalam keadaan lapang untuk sedikit menoleh kepada penderitaan umat Islam di Poso ini. Yaa Allah berikanlah balasan yang setimpal kepada musuh-musuh kami yang sebenarnya juga musuhMu, laknatilah dan berikanlah makar kepada merek yang telah mencabik-cabik agamaMu, jangan Engkau berikan kesempatan kepada mereka yang telah mengotori dunia ini dengan darah keangkaramurkaan untuk menikmati barang sedikitpun nikmat Surga seperti yang telah Engkau janjikan kepada kaum Muslimin, binasakanlah mereka sebagaiman Engkau binsakan Raja Abrahah dan bala tentaranya.
Keadaan sepi, lengang, tidak ada lalu lalang kendaraan, tidak ada lagi anak-anak sekolah yang lewat, semua rumah kosong dan tertutup hanya sebagian kecil saja yang masih ada penghuninya, pasar dan toko-toko semuanya tutup, yang nampak hanyalah beberapa orang yang senantiasa siaga dengan berbagai senjata di tangannya. Poso yang dulunya sangat ramai dan merupakan jalur Trans Sulawesi yang menghubungkan antara Ujung Pandang ke Menado, sekarang berubah menjadi kota mati tanpa aktivitas perekonomian sama sekali, hampir disepanjang jalan dipenuhi dengan palang-rintang baik dari pohon-pohon besar yang ditumbangkan atau dari kayu-kayu bahan membuat rumah bahkan ada sebuah bukit kecil yang sengaja dilongsorkan ke jalanan untuk mengalangi lalu lintas.
Penghalang tersebut dibuat untuk memudahkan pengintaian musuh atau dijadikan pertahanan terutama di medan perang yang jarak antar kubu yang sangat berdekatan misalnya antar tetangga desa yang hanya berjarak 500 Meter. Bila kita menyusuri jalan lebih jauh akan terlihat disana seluruh perkampungan Muslim hancur rata dengan tanah, hanya rumah-rumah yang bertanda Salib saja yang masih tampak utuh tidak rusak sama sekali. Mulai dari Kalora, Tokorondo, Pinedapa, Masamba, Masani, Kasiguncu, Bega, kearah Selatan di Kecamatan Poso Pesisir mulai Pantangolemba, Padalambara, Tabalo, Tangkura, Sangginora (sebuah desa yang diperkirakan akan banyak ditemukan kuburan masal), di Poso Pesisir ini tercatat 1587 rumah orang Islam hancur lebur. Selajutnya kearah kota masuk desa Betania, Mapane, Toini, Moengko Tua, Moengko Baru. Masuk kota relatif masih utuh karena mayoritas dikuasai oleh orang Islam kecuali di Komplek PDAM Gebang Rejo dan di Lembomawo. Dari kota kearah Selatan mulai dari Sayo, Kawua, Ranonuncu, Tagolu dengan Ponpes Walisongo nya, dan Sintuwu Lemba. Dari kota kearah Timur mulai Lawanga, Tegal Rejo, Madale, Toyado sampai di Malei Lage. Itulah gambaran yang kita lihat dan itu semua adalah derita yang dialami oleh Mayoritas umat Islam, mereka akhirnya harus tinggal di pengungsian dengan kondisi yang apa adanya, tidak jarang yang lari dari rumahnya hanya membawa baju yang melekat di tubuhnya, banyak orang tua yang harus berpisah dengan anaknya karena panik dan menyelamatkan diri masing-masing, mereka harus menyusuri hutan berhari-hari bahkan ada segerombol ibu-ibu dan anak-anak saja yang harus berada di hutan selama 12 hari, mereka hanya hanya makan daun-daunan selama itu.
Para pengungsi ini ditampung di 9 tempat di kota Poso, yang sempat berlari jauh ada yang de Pairig ataupun ke kota Palu tentunya mereka sudah merelakan harta bendanya yang ditinggal. Di Kota Poso mereka ditampung di Kantor Polres, Kodim, Kompi 711, SMU PGRI, Kantor Penerangan, Kantor BP7, Gedung Sanggar Pemuda, SMU Muhammadiyah dan SMU Al-Khairat. Di tempat pengungsian inilah kisah-kisah memilukan banyak sekali dijumpai, para janda-janda muda dari Kilometer 9 memceritakan bagaimana suami-suami mereka dibantai dengan cara yang sangat kejam di depan matanya, anak-anak mereka setiap mau tidur selalu menangis karena sudah terbiasa tidur dengan ayahnya, ada ibu yang harus melahirkan anaknya di tempat pengungsian dengan pertolongan ala kadarnya sementara suami mereka tidak berada disampingnya. Banyak anak-anak yang tampak sangat dekil sekali karena 3 hari sekali baru bisa ganti pakaian dan kelihatan tidak cukup gizi di masa pertumbuhannya (belum ada yang sampai Malnutrisi). Namun demikian mereka semua tetap tabah, yang ada dalam pikirannya hanyalah saya harus bagaimana setelah kerusuhan ini, dari beberapa orang yang kita temui tidak ada satupun yang mampu menjawab dengan tegas ketika ditanyakan apa rencana mereka setelah ini.
Itulah gambaran yang sedang kita hadapi saat ini, harus kemanakah mereka sedangkan rumah tiada, kebun-kebun dihancurkan, binatang ternak dijarah sedangkan uang tiada ditangan. Akan kita apakan mereka umat Islam yang berada di pengungsian, untuk kebutuhan sehari-hari saja belum tentu dapat terpenuhi, masalah kebersihan dan kesehatan menjadi pemandangan baru yang jauh tidak kalah menyedihkan. Disisi lain bantuan dari Pemerintah maupun dari LSM-LSM masih sangat kurang. PKPU sendiri masih belum banyak berbicara dikarenakan informasi tentang Poso khususnya berita yang samapai di Jawa masih kurang sehingga penggalangan dana belum optimal.
Dari Pos Kesehatan PKPU di Poso alhamdulillah masih mampu mengatasi masalah kesehatan disana, dari jumlah kunjungan pasien ke Pos Kesehatan yang rata-rata seharinya 40 pasien menunjukkan bahwa masalah kesehatan teryata merupakan masalah yang tidak kalah penting daripada masalah kebutuhan logistik atau rehabilitasi pengungsi. Dari jumlah kunjungan pasien yang banyak tersebut tentunya kebutuhan obat-obatan juga akan bertambah terus, ini semua tentunya tergantung kepada saudara-saudara Muslim yang masih terbuka hatinya untuk menyisihkan hartanya demi kepentingan mereka yang sedang menderita, semua ini tentunya juga sangat tergantung kepada perhatian dari mereka para ikhwah yang masih mengakui bahwasannya ukhuwah merupakan landasan yang kuat untuk kelangsungan da’wah Islamiyah dengah Al-Qur’an dan Sunnahnya sebagai tuntunan.
Demikian sedikit penggalan cerita tentang Poso terbantai, tentunya konsentrasi kita sekarang kepada para pengungsi entah bantuan sembako, obat-obatan, pakaian atau bahkan bantuan untuk upaya pengembalian mereka ke tempat tinggalnya masing-masing tentunya dengan jaminan keamanan yang memadai. Semoga Allah SWT berkenan memberikan kekuatan kepada mereka yang sedang berjuang membantu saudar-saudaranya yang sedang teraniaya. Wallahu a’lam bis showab.
KRONOLOGIS TEWASNYA PANGLIMA LATEKA
Pagi itu pada Jum’at, 2 Juni 2000 sekitar pukul 06.30 WIT disaat orang-orang sedang sibuk menikmati kopi panas di dapur umum tiba-tiba muncul suara toki-toki (tiang listrik yang dipukul berkali-kali dan bersautan) pertanda ada bahaya yang datang. Serentak orang-orang menghentikan semua kegiatan di dapur umum dan segera bersiap-siap. Tidak disangka-sangka oleh masyarakat Kelurahan Kayamanya, teryata tiba-tiba sekitar 700 anggota pasukan merah dengan beberapa truk dan mobil station dibawah pimpinan Panglima Advent L. Lateka dan Panglima Wanita Paulin Dai sudah berada di depan Masjid Nurusy Sya’adah Kayamanya. Segera penduduk Kayamanya yang hanya berjumlah 50 orang bersiap-siap untuk menghadapi mereka, semua persenjataan yang selalu dibawa untuk berjaga-jaga semua disiapkan tak terkecuali Dum-dum dan Bom rakitan serta tidak ketinggalan pula senjata ‘laras panjang’ M-CAMPURAN yakni Rotan dan Batu-batu kecil (Pasukan ROBA = Rotan dan Batu) yang kono kabarnya telah diberi asma’ oleh Habib Saleh.
Seperti layaknya film kolosal pertempuran segera terjadi, mereka baik dari pasukan merah maupun putih berhamburan untuk saling menyerang, parang baku parang atau rotan, peluncur (panah-panah kecil) beterbangan, Dum-dum segera ditembakkan, bom segera dipasang sewaktu-waktu musuh berada di dekatnya maka akan segera diledakkan. Pasukan merah yang datang dengan kesombongan sambil membawa bendera merah-putih berkoar-koar menyebut-nyebut nama Yesus si Juru Selamat. Lateka dan Paulin yang berada paling depan terus mendesak pasukan Islam, pasukan putih terus terdesak mundur bahkan satu korban tumbang setelah terkena pedangnya Lateka yang kemudian dicincang oleh pasukan merah lainnya yang berada di belakangnya.
Bacokan parang atau pedang serta peluncur-peluncur yang melesat ke tubuh Lateka tida ada satupun yang mempu melukainya bahkan Lateka terus merangsek ke depan sehingga tinggal kurang lebih 10 Meter saja mencapai rumah Habib Saleh yang merupakan sasaran utama penyerangan. Habib Saleh terus mengomando pasukan putih, Allahu Akbar berarti maju serang, Alhamdulillah berarti bertahan, dan Astagfirullah berarti mundur.
Pertarungan yang sangat tidak seimbang tersebut hampir pasti dimenangkan oleh pasukan merah, pasukan putih terus terdesak mundur, gema Takbir dan komando Habib terus dikumandangkan. Diluar perkiraan atau hitungan logika bahwa yang banyak pasti akan menang, tanpa diketahui dari mana asalnya tiba-tiba ada senjata Dum-dum yang melesat ke arah dada kiri Panglimawati Paulin Dai, dia terjatuh dan berteriak “tolong aku, angkat aku ke belakang “. Maka segera para prajurit merah mengangkat Paulin mundur ke belakang dan sejak itulah nyali mereka jatuh, mereka spontan lari tunggang-langgang menuju trukatau mobil yang diparkir sekitar 1 Km dari lokasi peperangan. Lateka yang berumur 50 Tahun ikut mundur juga tetapi ketinggalan jauh di belakang pasukan merah yang rata-rata masih muda-muda. Akhirnya Lateka terkejar, begitu sudah dekat pasukan putih segera mengepungnya, karena sudah tahu kalau Lateka itu kebal senjata maka pasukan putih hanya berjaga-jaga saja sambil membuat lingkaran tidak ada satupun yang berani mulai menyerang.
Dari balik lingkaran pasukan putih itu akhirnya muncul seorang Pahlawan yang juga seusia Lateka (demi keamanan nama dirahasiakan), beliau maju ke depan mendekati Lateka, begitu berhadapan Lateka segera menyerangnya, beberapa sabetan pedang Lateka teryata hanya melenting-melenting saja ketika mengenai tubuh sang Pahlawan tersebut. Rupa-rupanya sekarang Lateka sedang bertemu musuh yang sepadan, sama-sama kebal senjata, sampai akhirnya satu pukulan rotan dari sang Pahlawan membuat Lateka jatuh tersungkur, dan mulai saat itu seolah-olah kesaktian yang dimiliki oleh Lateka telah lenyap yang puncaknya sebelum Lateka sempat bangun lagi semua pasukan putih yang tadi mengepung dan hanya menonton di tepi lingkaran saja segera berhamburan untuk mencincang Lateka sampai menemui ajalnya. Ada beberapa pasukan muda yang memaksa untuk membakar mayat Al-Ma’un tersebut tetapi dilarang oleh Habib Saleh bahkan kemudian diserahkan kepada aparat.
Namun demikian teryata kematian Lateka masih misteri, ada yang mengatakan itu bukan Lateka karena Lateka adalah tokoh intelektualnya sehingga tidak mungkin dia ikut terjun ke lapangan memimpin perang. Ditambah lagi di dompetnya ditemukan beberapa KTP diantarannya milik istri dan anak-anaknya, nota rekening tagihan telepon. Mengapa orang yang dianggap terhormat tersebut menyimpan beberapa KTP dan bahkan rekening tagihan. Tetapi salah seorang dari pasukan Islam meyakinkan kepada teman-temannya bahwa mayat ini adalah benar-benar mayatnya Lateka meskipun sudah sangat sulit dikenali. Dia mengatakan semasa masih bekerja di RPH dulu pernah lama menjadi anak buahnya Lateka, dia hafal betul wajah Lateka. Dari pihak Krisis Center Gereja Kristen Sulawesi Tengah mengatakan bahwa Panglima Lateka dan Paulin Dai telah tewas dalam peperangan terakhir di Kelurahan Kayamanya. Wallahu a’lam bis showab
NB. Istilah Al-Ma’un dilontarkan oleh Ustadz Marwan (Ketua DPW PK Sul-Tengah), selamat berjuang di bumi Poso Ustadz, jiddiyah antum sungguh dapat dijadikan teladan bagi kita semua.
Pos Keadilan Peduli Ummat Jawa Timur
Jl. Kalidami 79 Surabaya 60285
Telp./Fax. (031) 5924825
E-mail: [email protected]
PKPU Palu (0451) 426195
PKPU Poso (0452) 23329
Pos Kesehatan PKPU Poso (0452) 324362
Copyright © 2000 LASKAR JIHAD