|
Masa kecil adalah masa-masa yang paling menyenangkan bagi siklus kehidupan
seorang manusia. Demikian halnya dengan yang saya alami. Alam telah memberikan
segala kesenangan dan kegembiraan di masa kecil yang sekarang tinggal kenangan
yang tak pernah terlupakan. Kehidupan yang menyatu dengan alam sekitar
telah mewujudkan suatu kehidupan yang harmoni yang nantinya sangat mempengaruhi
pandangan seseorang tentang keberadaan mereka diantara alam sekitarnya.
Kehidupan di desa yang tidak rumit dan bersentuhan langsung dengan alam
yang hijau telah membentuk karakter saya menjadi orang yang sederhana.
Di masa kecil tidaklah pernah dijumpai permainan yang modern semacam play
station atau sejenisnya seperti sekarang ini, melainkan hanya
permainan petak umpet yang penuh dengan kegembiraan dan canda. Tidak ada kesendirian dan individualistis dalam permainan itu, melainkan kebersamaan dan tawa. Tidak pernah terdengar makanan semacam Kentucky Fried Chicken, melainkan gethuk lindri yang beraroma khas dan membangkitkan selera. Mungkin tidak demikian halnya dengan anak-anak yang tumbuh di kota. Alam pedesaan telah memberikan sesuatu yang menggembirakan walaupun penuh dengan keterbatasan. Tapi pola hidup yang sederhana telah menghilangkan garis kekurangan yang mungkin sering muncul di tengah-tengah kehidupan kota yang penuh dengan kehidupan ambisius dan individualistis. Jambu klutuk adalah salah satu buah yang paling saya sukai di masa kecil. Setiap bangun pagi, tanpa bercelana, dengan penuh gairah saya pergi ke kebun di belakang rumah untuk mencari sisa-sisa jambu yang disantap oleh kelelawar pada malam sebelumnya. Yah..keterbatasan dan kemiskinan telah menyebabkan begitu sulitnya mendapatkan sebuah celana. Kegembiraan menemukan jambu kluthuk, mungkin juga menyebabkan kesedihan dan kegembiraan bagi si kelelawar. Kelelawar mungkin sedih karena jambu matang yang sudah berhasil diraihnya ternyata jatuh dan akan sulit baginya bahkan tidak mungkin untuk mengambil kembali jambu kluthuk yang sudah jatuh karena keterbatasan fisiologi yang ada pada dirinya. Tetapi bisa juga kelelawar itu sengaja membagikan jambu kluthuknya kepada seorang anak desa yang suka jambu klutuk seperti saya. Kelelawar-kelelawar itu itu telah membagi kegembiraannya. Di saat matahari sudah meninggi, aktifitas di sungai mulai meningkat. Sungai telah telah memberikan nafas baru bagi kehidupan di desa. Penduduk memanfaatkannya untuk segala keperluan, baik untuk mandi, mencuci bahkan untuk membuang kotoran. Tapi yang ada di kepala seorang anak, sungai adalah sarana untuk bermain. Secara tidak sengaja, sungai telah memberikan sarana yang baik bagi seorang anak untuk belajar berenang. Oleh karena itu, anak-anak desa yang bertempat tinggal di dekat sungai pandai berenang sejak kecil. Bahkan mereka lebih suka mandi di sungai kalau sungainya meluap karena banjir. Secara tidak sadar, saya juga merugikan orang lain karena seringkali menebang pohon pisang yang belum berbuah milik penduduk untuk dijadikan gethek. Atau tidak jarang, telinga saya harus rela dijewer oleh ibu karena kebandelan saya. Masih melekat dalam ingatan saya, bagaimana takutnya saya waktu pertama kali mau disekolahkan. Pada saat itu, bukanlah murid yang mencari sekolah, melainkan guru yang mencari murid. Jarak dari rumah ke sekolah kira-kira 3 kilometer. Setiap pagi dengan baju seadanya dan tanpa sepatu, saya pergi kesekolah melewati jalan berbatu dan berlumpur. Dan tidak jarang pula harus melewati pematang sawah di bawah rerimbunan pohon bambu dengan sungai kecil yang mengalir di bawahnya. Ular-ular air berenang berlenggak-lenggok dengan kilatan kulitnya yang berwarna kecoklatan terkena sinar matahari di sungai kecil itu dengan airnya yang jernih. Sesekali saya ambil batu kecil dan saya lemparkan ke ular-ular itu. Tidak untuk menyakiti, tetapi hanya untuk melihat reaksi mereka. Tidak ada kesedihan dan penyesalan untuk menjalani semua itu, tetapi yang ada hanya kegembiraan bagi seorang anak. Selama 6 tahun saya menjalani rutinitas seperti itu, dan selama itu pula tidak ada usaha dari pemerintah untuk memberikan jalan yang lebih baik bagi anak-anak desa. Jalan masih berbatu dan berlumpur. Ada masa-masa sedih dan gembira selama 6 tahun di sekolah dasar. Tak pernah terlupakan oleh saya suatu peristiwa menakjubkan yang pernah saya alami sewaktu kelas satu sekolah dasar. Matahari mulai meninggi ketika saya, kakak laki-laki nomor 6, serta seorang anak Bu Lik berangkat mencari bajing dan burung bersenjatakan ketapel usang. Anak Bu Lik berjalan mendahului kami menyusuri pematang sawah di bawah rerimbunan pohon bambu yang sangat lebat. Tiba-tiba dia berhenti dan membidik sesuatu dengan ketapelnya. Sesaat kemudian melesatlah batu sebesar jempol tangan ke arah sasaran yang dibidik olehnya. Sambil berlari kencang, dia berteriak kalau yang dia bidik adalah seekor bajing. Dan dia bilang mau mengejar bajing yang lain. Dengan penuh semangat saya berlari ke arah sasaran itu, tanpa menyadari adanya jebakan yang dilakukan oleh adik sepupu saya. Ternyata yang dibidik oleh dia bukanlah bajing, melainkan sarang tawon sebesar gentong. Ketika saya sudah mendekat, tanpa ampun,tawon-tawon yang sudah marah menghajar kepala saya. Puluhan tawon menancapkan bisanya ke kepala saya. Jeritan kesakitan secara spontan keluar dari mulut saya. Kakak tidak bisa berbuat apa-apa, walaupun dia sudah berusaha sekuat tenaga melepaskan tawon-tawon yang masih menempel di kepala saya. Esok harinya, akibat yang ditimbulkan oleh bisa-bisa tawon itu mulai terasa. Leher tidak bisa digerakkan, kepala serasa berdenyut-denyut, dan seringkali terasa aliran listrik merayap di kepala saya. Sejak itu sampai sekarang, aliran listrik itu masih sering muncul di kepala saya. Tapi ada hikmah yang menakjubkan yang saya peroleh dari peristiwa itu. Sejak itu saya menjadi anak yang selalu ingin tahu tentang sesuatu dan mudah untuk memahami sesuatu yang baru, walaupun pada dasarnya saya adalah orang yang malas belajar. Mengantuk adalah teman saya pada waktu belajar. Dan sangat mengherankan kalau saya selalu menduduki ranking 1 di kelas, dari kelas satu sampai kelas enam sekolah dasar. Tapi saya juga sangat bersyukur atas karunia yang diberikan oleh Allah swt ini. Peristiwa yang lain terjadi di suatu sore ketika saya juga masih kelas satu sekolah dasar. Waktu itu ayah (almarhum) akan pergi ke hutan untuk berburu kijang. Kehidupan di pinggir hutan telah juga memperkenalkan saya sedikit banyak pada kehidupan di dalam hutan. Tidak jarang saya menghabiskan waktu hanya untuk duduk-duduk sambil menikmati suara burung dan binatang di dalam hutan. Biasanya saya selalu ikut serta jika ayah berburu. Tapi anehnya, pada saat itu ibu melarang saya untuk ikut. Hal ini tidak biasa terjadi. Dengan sengaja saya melalaikan anjuran ibu, dan berlari lewat pintu belakang untuk mengejar ayah. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Waktu memanjat pohon di hutan, tanpa sadar , saya memegang dahan yang rapuh. Dan beberapa detik kemudian, tubuh saya sudah berada di atas tanah. Dengan kesadaran yang masih tersisa, saya coba bangkit. Tapi rasa ngilu di paha kanan telah membatalkan niat saya. Ternyata, tulang di paha kanan saya patah. Untuk membayar kebandelan ini, saya harus rela menginap di RSUD Jombang selama 1,5 bulan. Di balik kebandelan dan kenakalan ini, sebenarnya saya adalah anak yang pemalu, minder dan perasa. Jujur saya akui bahwa saya adalah yang paling jelek diantara saudara- saudara yang lain. Wajah tidak menjanjikan dengan kulit hitam legam. Pernah terlintas di benak saya untuk membenarkan godaan tetangga, bahwa sebenarnya saya adalah bukan anak kandung orang tua saya, melainkan anak yang ditemukan di bawah pagar sebelah rumah. Perasaan itu tidak pernah saya tanyakan ke ibu bapak, sampai saya betul-betul sadar bahwa apa yang diucapkan oleh tetangga hanyalah bertujuan untuk menggoda saya. Dengan kondisi yang demikian, maka saya menjadi anak yang minder dan perasa. Tapi didikan orang tua yang tidak memanjakan anak, telah menyadarkan saya akan pentingnya kemandirian pada pembentukan pribadi seseorang di kemudian hari. Sejak kecil, saya sudah terbiasa melakukan segala sesuatu tanpa bantuan orang lain. Bahkan untuk mencuci baju dan setrika, yang menggunakan arang, harus saya lakukan sendiri. Perasaan iri juga pernah ada dalam benak saya Saya harus menyalakan lampu petromax setiap hari, sementara kakak-kakak saya dengan leluasa bermain sepak bola. Tidak jarang saya harus berjalan dalam kegelapan dan menyeberangi sungai sungai yang besar untuk membeli minyak tanah dan peralatan lampu petromax kalau sedang rewel. Ayah tidak pernah memuji saya, walaupun saya selalu ranking satu di kelas. Hal ini semua telah menjadikan saya mempunyai anggapan bahwa ayah berbuat tidak adil terhadap saya. Setelah saya menginjak bangku SMA barulah saya sadar bahwa anggapan saya tidak benar setelah seorang tetangga bercerita bahwa ayah selalu memuji saya di depan mereka. Cara ayah mendidik saya, ternyata telah menjadikan saya menjadi anak yang mandiri. Kelas 5 SD adalah saat yang tak pernah terlupakan dalam kehidupan saya. Waktu itu ada perasaan sedih dan gembira yang bercampur jadi satu. Bapak kepala sekolah memutuskan bahwa saya harus mewakili sekolah mengikuti lomba siswa teladan tingkat kecamatan. Yang ada di benak waktu itu adalah perasaan bingung karena saya tidak tahu apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dipersiapkan. Perasaan sedih begitu terasa waktu lomba diadakan. Teman-teman yang dari kota kecamatan memakai pakaian seragam yang bagus-bagus dan benar, sementara saya hanya memakai pakaian seadanya, dengan baju pramuka dan celana pendek biru.Komposisi baju yang tidak benar ini terus saya pakai selama 3 hari lomba. Mungkin teman-teman mentertawakan pakaian saya, demikian juga dengan juri lomba tersebut. Dan yang menyedihkan lagi, saya harus menyanyikan lagu wajib Himne Guru, sementara mendengar judul lagunya saja belum pernah. Akhirnya saya menyanyikan lagu Gugur Bunga. Tapi akhirnya hasil yang tak terduga berhasil saya raih. Saya dinyatakan sebagai pemenang ketiga se kecamatan Mojoagung. Hasil ini, menurut Bapak Kepala Sekolah, adalah hasil tertinggi yang pernah diraih oleh SD kami. Demikian juga dalam lomba gerak jalan dalam rangka memperingati Proklamasi kemerdekaan, regu kami berhasil memperoleh juara ketiga. Ini juga hasil tertinggi yang pernah diraih oleh regu dari SD kami. Kenangan di SD harus berakhir setelah saya dinyatakan lulus dengan nilai terbaik. Lulus sekolah dasar, kepercayaan diri dan kemandirian saya semakin meningkat. Dalam seleksi secara terulis, tanpa diduga saya menduduki peringkat ketiga terbaik dari nilai seluruh siswa dari 8 kelas paralel yang diterima. Ayah begitu bangga terhadap saya. Tetapi sekali lagi kebanggaan ayah tidak pernah ditunjukkan di depan saya. Tidak ada yang istimewa selama di SMP. Jalan masih belum beraspal, masih berbatu dan berdebu bahkan berlumpur pada saat musim hujan mulai datang. Belum ada lampu listrik. Lampu teplok dan suara jangkrik adalah sahabatku saat belajar di malam hari.Pemilik televisi bisa dihitung dengan jari. Penduduk berjejal menonton televisi layaknya menonton film misbar (kalau gerimis bubar) di lapangan.Kalau kebetulan strom akinya habis, maka habislah juga hiburan satu-satunya itu. Jarak dari rumah ke sekolah kira-kira 4 kilometer. Hanya ada sedikit perubahan. Saya sudah memakai baju seragam, memakai sepatu dan mempunyai sepeda bekas dari kakak. Prestasi di sekolah juga cukup bagus. Kebetulan saya selalu ranking satu di kelas dari kelas satu sampai kelas tiga. Persoalan baru muncul setelah lulus SMP. Ibu menyarankan supaya saya melanjutkan ke SPG saja supaya cepat mendapatkan pekerjaan seperti yang sudah dilakukan oleh kakak laki-laki yang nomor tiga karena keterbatasan biaya. Saya masih ingat, bahwa kakak saya yang nomor tiga berhasil menyesaikan pendidikan di SPG karena dari hasil jualan anak burung merpati. Waktu itu kakak memelihara merpati dan menjual anaknya untuk biaya sekolah. Tetapi saya mempunyai keinginan yang lain. Saya ingin melanjutkan ke SMA. Tanpa diduga saya diterima di SMA Negeri 2 Jombang. Semua orang tahu bahwa SMA ini adalah salah satu SMA yang paling diminati pada saat itu. Akhirnya kakak perempuan nomor dua yang sudah bekerja dan berkeluarga di Surabaya bersedia membantu biaya sekolah SMA saya. Kakak mengirimkan wesel sebanyak Rp.5000,- setiap bulan untuk biaya sekolah. Karena jarak sekolah yang cukup jauh, sekitar 20 km dari rumah, maka saya memutuskan untuk kost. Kehidupan anak kost bukanlah kehidupan yang mudah. Dengan biaya kost Rp.3000,- sebulan dan uang saku Rp. 3000,- perminggu termasuk biaya naik bis kalau pulang seminggu sekali adalah kehidupan yang jauh dari layak walaupun setiap minggu ibu selalu membekali beras sebanyak 5 kg dan kadang-kadang juga membekali lauk berupa rempeyek kacang atau ikan teri. Tapi kehidupan dan cita-cita harus terus berjalan. Telur adalah sasaran sebagai lauk yang mudah dan murah. Maka hampir setiap makan selalu menggunakan telur sebagai lauknya. Makan sayur hampir tidak pernah apalagi makan daging. Saya tidak pernah berpikir apakah makanan yang saya makan bergizi atau tidak. Tapi orang pasti bisa memastikan bahwa makanan yang saya makan sama sekali tidak bergizi. Kehidupan ini berlangsung selama 3 tahun. Tapi saat inilah, saya mulai berpikir tentang cita-cita. Menjadi seorang dokter adalah cita-cita saya. Oleh karena itu saya ambil program A2 (Biologi) sebagai langkah awal untuk mencapai cita-cita. Saya bukanlah anak yang pintar tetapi bukan juga anak yang bodoh. Prestasi di SMA juga lumayan. Beberapa kali masih sempat ranking 1 walaupun makan makanan yang tidak bergizi. Orang boleh merencanakan tapi Tuhan jualah yang mementukan. Musibah itu datang sebelum EBTANAS berlangsung. Dengan didahului panas badan yang sangat tinggi selama 3 hari, tiba-tiba saya menjadi lumpuh. Bahkan tangan sulit digerakkan dan mata sulit dipejamkan. Tulang serasa ditusuk-tusuk jarum. Harapan menjadi dokter hilang seketika. Saya harus dirawat lagi di RSUD Jombang untuk kedua kalinya. Waktu EBTANAS semakin dekat, sementara kondisi tubuh saya tidak menunjukkan kemajuan. Saya yakin bahwa kejadian ini adalah akibat dari defisiensi gizi yang parah. Dokter melarang saya meninggalkan rumah sakit untuk mengikuti EBTANAS mengingat kondisi tubuh saya yang mengkhawatirkan. Tapi untunglah saya masih bisa berpikir normal. Saya bersikeras untuk mengikuti EBTANAS di sekolah. Akhirnya dokter mengijinkan dengan catatan dia tidak bertanggung jawab tentang apa yang akan terjadi pada saya selanjutnya kalau saya memaksa. Untuk itu ibu harus menandatangani surat pernyataan. Kasih sayang ibu memang sepanjang badan. Dengan penuh kasih sayang ibu mendampingi saya selama mengikuti EBTANAS. Penyakit yang saya derita telah membuat tangan saya sulit memegang pensil maupun ballpoint. Untuk masuk ke ruang kelas pun, saya harus dibopong oleh tukang becak. Dengan susah payah saya mengerjakan soal-soal EBTANAS. Hal tersulit yang saya alami adalah mengerjakan soal mengarang dalam bidang Studi Bahasa Indonesia. Tangan saya sampai terasa ngilu waktu digunakan untuk menulis. Akhirnya saya hanya mampu menuliskan karangan sebanyak kira-kira 10 baris, tidak lebih. Yang ada dalam benak saya hanyalah keinginan untuk lulus. Tanpa diduga dan penuh keheranan, ternyata saya masih meraih DANEM yang cukup tinggi, bahkan itu adalah DANEM tertinggi di kelas. Saya sangat bersyukur karenanya. Tapi saya juga meninggalkan bangku SMA tanpa kesan, karena saya juga merasa bahwa cita-cita saya sudah terkubur dalam. Tapi dalam hati kecil, saya masih mempunyai sebuah keinginan. Keinginan untuk sembuh dari penyakit ini. Hidup di desa dalam keadaan lumpuh adalah kehidupan yang sangat sulit bagi saya. Tapi saya berusaha terus gembira walaupun dalam hati terasa pedih, supaya ayah dan ibu tidak merasa sedih. Tapi saya tahu pasti bahwa mereka sangat sedih, demikian juga dengan kakak-kakak saya. Setiap hari saya latihan berjalan menggunakan bambu yang ditancapkan di tanah di depan rumah sambil menjalani perawatan tusuk jarum yang dilakukan oleh seorang Sinshe. Tapi perawatan ini tidak membuahkan hasil yang menggembirakan. Kondisi tubuh saya tidak berubah. Karena khawatir, kakak nomor 2 membawa saya ke Surabaya untuk menjalani perawatan. Seorang dokter ahli syaraf dan jiwa menangani perawatan penyakit saya. Tidak ada keinginan sama sekali untuk melanjutkan sekolah. Cita-cita saya sudah kandas. Tetapi tiba-tiba kakak ipar saya menyarankan untuk melanjutkan sekolah dan mengambil jurusan kimia karena tidak mungkin bagi saya mengambil jurusan kedokteran umum. Tes kesehatan yang ketat akan menggagalkan usaha saya. Akhirnya tanpa semangat saya menuruti keinginan kakak ipar tersebut. Dengan kondisi masih lumpuh, saya mengikuti UMPTN di ITATS Surabaya. Kakak laki-laki nomor lima dengan penuh kasih sayang mengantarkan dan membopong saya ke ruang kelas selama mengikuti UMPTN. Tanpa diduga saya diterima di Jurusan Kimia FMIPA UNAIR. Saya adalah satu diantara 17 orang yang diterima pada saat itu.Berita ini tidak juga membuat saya gembira. Yang menggembirakan, perawatan oleh dokter spesialis tersebut telah memberikan harapan baru. Saya sudah mulai bisa berjalan walaupun tulang-tulang terasa masih ngilu. Sebulan setelah dirawat, akhirnya saya bisa berjalan dan mulai dapat mengikuti kuliah di Jurusan Kimia. Kehidupan menjadi mahasiswa pada awalnya terasa sangat asing bagi saya. Tapi mulai saat itulah saya bertekat untuk menekuni bidang kimia. Saya lebih berpikir realistis, mungkin kedokteran memang bukan bidang saya. Bahkan waktu tahun berikutnya kakak menyarankan supaya saya mencoba lagi ikut UMPTN, saya menolak dengan alasan biaya yang dikeluarkan oleh kakak selama setahun untuk kuliah saya sudah banyak. Menjadi mahasiswa telah mengubah sedikit sifat saya. Kalau selama di SMA tidak pernah sama sekali berkecimpung dalam organisasi di sekolah, maka sebaliknya yang terjadi semasa kuliah. Sejak semester 1, saya aktif dalam organisasai kemahasiswaan. Mulai dari menjadi anggota HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan), anggota BPM (Badan Perwakilan Mahasiswa) tahun 1989-1990, Ketua HMJ Kimia tahun 1990-1991dan Wakil Ketua Senat Mahasiswa bidang pengembangan dan penalaran tahun 1991-1992. Dua kali mendapatkan dana penelitian LKIP (Lomba Karya Inovatif Produktif) Dirjen Dikti tahun 1990 dan 1991, sekali juara 3 lomba mahasiswa teladan tingkat fakultas MIPA tahun 1990, dan akhirnya tahun berikutnya juara 1 pada lomba yang sama tahun 1991. Mendapatkan beasiswa dari industri tahun 1990-1991 dan dari TID (Tunjangan Ikatan Dinas) tahun 1991-1992. Bulan September 1992 saya menyelesaikan S1 dengan predikat terbaik di Jurusan Kimia. Selama menunggu proses pengangkatan sebagai staf pengajar di Jurusan Kimia, saya mengajar di SMA Kristen Dharma Mulya Surabaya dari tahun 1992-1993. Hal yang paling tak terlupakan dalam hidup adalah pernikahan. Saya menikahi teman sekelas yang semasa mahasiswa selalu bermusuhan dengan saya pada tanggal 5 September 1995. Yang menyedihkan adalah tanggal 18 Oktober 1995 saya harus sudah berada di Belanda untuk melanjutkan program master dalam bidang Environmental Science and Technology. Dalam keadaan hamil muda, istri saya harus saya tinggalkan untuk sekolah. Tanggal 21 Juni 1996 anak laki-laki kami, Bagus Aryan Delftanto (Ryan), lahir. Bulan September 1996, saya berhasil menyelesaikan Diploma dan memperoleh gelar Dipl. EST. Selanjutnya bulan Juli 1997, saya berhasil menyelesaikan program master dan mendapatkan gelar M.Sc. Setelah kembali dari sekolah, saya meluangkan waktu untuk lebih mengutamakan penelitian yang melibatkan mahasiswa baik dengan mengusahakan dana dari LKIP maupun dari penelitian dosen. Selain itu juga membawakan makalah dalam berbagai seminar yang bertema lingkungan serta aktif dalam membimbing skripsi mahasiswa S1. Saya membimbing tidak kurang dari 15 judul skripsi baik sebagai pembimbing I maupun pembimbing II. Tahun 1998-1999 dipercaya sebagai dosen pembina HMJ Kimia. Tahun 1998, membimbing satu judul penelitian mahasiswa yang didanai Dirjen Dikti melalui LKIP, dan tahun 1999 membimbing 5 judul penelitian mahasiswa yang didanai Dirjen Dikti melalui LKIP (satu judul penelitian berhasil masuk final di Jakarta). Tahun 1999 dipercaya sebagai dosen teladan I tingkat fakultas MIPA, dan pada tahun yang sama memperoleh beasiswa dari pemerintah Republik Federal Jerman melalui DAAD (Deutcher Akademischer Austauschdienst) untuk program doktor (S3) dalam bidang kimia analisis di FU (Freie Universität) Berlin. Kebahagiaan keluarga kami semakin lengkap dengan lahirnya anak perempuan kami , Nimas Sekar Ayu Citraningsukma (Nimas) pada tanggal 18 Juni 1999. Bulan September 1999-Maret 2000 mengikuti kursus bahasa jerman di Goethe-Institut Jakarta. Bulan April-Juli 2000 mengikuti kursus bahasa Jerman di Goethe-Institut Dresden. Selanjutnya mulai 1 Agustus 2000 memulai program doktor di anorganische und anlytische Chemie, FU Berlin sampai sekarang. |
|