|
|
Tamu Panggilan Tuhan Oleh : Mas Gagah
Haji, sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, adalah upaya kita untuk mendekat, menghampiri Allah. Di dalamnya terkandung simbol-simbol yang dalam, yaitu aspek spiritual. Bukan hanya sekedar aspek fiqh ritual formalnya saja. Ibadah, dalam tradisi sufi, adalah merupakan bentuk utama daripada apa yang kita sebut "matilah sebelum mati." Jadi, dengan melaksanakan ibadah, kita sebenarnya mengembangkan diri kita, menyempurnakan diri kita, dan mele-paskan diri kita daripada diri-diri palsu kita sebenarnya. Diri-diri palsu yang selama ini seringkali menyita kita sehingga kita mengabaikan diri hakiki kita, yakni diri sejati kita, sehingga kita tidak tumbuh menjadi manusia sempurna (insan kamil). Kegagalan kita disebut fasiq. Hal ini sebagaimana dinyatakan di dalam al-Qur'an: "Orang yang gagal tumbuh menjadi insan sempurna itu disebut fasiq." Fasiq, berasal dari bahasa Arab, yang asal katanya merajuk pada biji kurma yang keluar dari kulitnya sebelum waktunya atau yang gagal tumbuh. Jadi, kalau orang itu gagal tumbuh, gagal menjadi manusia, maka ia disebut fasiq. Jadi, orang yang gagal menjadi manusia, benih itu tidak tumbuh. Benih tersebut hancur di dalam tanah. Dia tidak mampu menyerap kekuatan yang ada di alam ini untuk tumbuh meraih cinta Allah, meraih kesempurnaan. Tapi ia hancur, bahkan diserap oleh dunia ini, atau diserap bumi. Manusia terdiri dari dua ekstrim, yaitu ruh di satu sisi dan tanah di sisi lain. Dan dari kedua gabungan inilah, maka manusia memiliki satu kekhususan yang menyebabkan manusia, yang menurut Ali Syariati, disebut dengan "theo morfin", yakni manusia memilki ciri ilahi di dalam dirinya. Sebagai khalifatullah di muka bumi, itu adalah potensi yang ada pada diri manusia. Bahwa manusia tidak semua langsung menjadi khalifatullah. Untuk itu, manusia harus berproses. Ibadah adalah upaya untuk menjadi khalifatullah dan menjadi seperti Allah. Firman Allah dalam hadits qudsi: Wahai hamba-Ku, taatilah Aku, Aku menjadikanmu sebagai rabbani (manusia robbani) sebagaimana Aku. Apa yang kamu inginkan, cukup katakan Kun Fayakun. Bagi orang yang melakukan "per-jalanan spiritual", maka orang tersebut mempunyai kesadaran yang sangat tinggi. Ia tidak hanya melihat hal itu di akhirat, namun janji Allah itu berlaku di dunia, dimana ada orang-orang yang sampai pada tingkat itu didalam perjalanan rohaninya. Jadi, ibadah merupakan sarana untuk mencapai itu. Tetapi, pada sebagian orang, ibadah tidak berhasil mengantarkannya kepada kesempurnaan itu. Dalam suatu riwayat, Rasulullah menyatakan: "Ada seseorang yang melakukan shalat selama 50 tahun, dan tidak satu pun shalatnya diterima Allah SWT." Shalat, yang sebenarnya adalah sarana untuk menghantarkan kita ke haribaan Allah, namun pada sebagian orang shalat membuat dia terjauhkan dari Allah. Allah menyebutnya di dalam al-Qur'an: Neraka buat orang-orang yang shalat. Hal ini terjadi karena mereka melakukannya tidak dengan suatu kesadaran, suatu pengetahuan. Untuk bisa sadar, kita harus mempunyai pengetahuan dan harus mempunyai tujuan hidup anda di dunia ini. Bila kita ingin menjadi orang yang beriman, maka tidak ada yang paling kita rindukan kecuali perjumpaan dengan Allah Ta'ala, yakni kedekatan dengan-Nya. Siapa yang ingin bertemu Tuhannya, maka ia harus menghampiri Tuhan. Maka hendaknya ia beramal shalih dan hendaknya ia tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun didalam peribadatannya. Tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun itu antara lain dengan dunia, dengan akhirat sekalipun. Bahwa kita menyembah Allah bukan karena ingin surga. Kaum sufi mengatakan bahwa: "Kita harus melepaskan hal itu (surga). Bahwa kita menyembah Allah harus dengan ketulusan hati, dan yang kita inginkan hanyalah Allah. Bukan dunia atau pun surga. Kalaupun Allah memberikan hal itu, kita akan bahagia. Karena itu dari Allah, dari kekasih kita, karena yang akan membahagiakan kita." Ibadah-ibadah itu sebenarnya adalah upaya-upaya untuk menenangkan cinta kepada Allah di dalam diri kita. Dan hal ini harus disadari tujuan-tujuannya. Bila tidak disadari tujuan-tujuannya, seperti melakukan ibadah dengan mengharapkan dunia dan pahala, maka Allah berfirman: Apakah tidak kamu lihat orang-orang yang menjadikan keinginan-keinginannya itu sebagai Tuhannya. Bahwa yang dia sembah itu bukan Allah. Allah hanyalah merupakan sarana bagi pemenuhan keinginan-keinginan dia. Bagaimana mungkin dia akan menyembah Allah dengan hati lurus, sedangkan Allah menurut dia hanyalah sebagai "fasilitator" saja untuk mencapai keinginan-keinginannya. Dia tidak menjadikan Allah sebagai tujuan perjalanan hidupnya. Maka hal ini akan menjadikan dia semakin jauh dengan Allah. Dia melakukan shalat, puasa, zakat, dan haji serta ibadah-ibadah lainnya, tetapi dia tidak mencapai kesempurnaan ibadah-ibadah tersebut. Pelaksanaan ibadah juga mengajarkan manusia untuk melepaskan cara hidup manusia yang telah membuat manusia terpisah antara satu dengan yang lain, karena manusia kadang-kadang mela-kukan hal tersebut. Sufi berkata: "Sesu-ngguhnya manusia itu memiliki tubuh malakut. Mereka mempunyai wujud lain, selain bentuk manusia." Bahwa pelaksanaan ibadah kita bukan hanya pelaksanaan "ego spiritual", yakni untuk mencari keunggulan-keunggulan spiritual di antara manusia, tapi pelaksanaan ibadah itu adalah untuk melayani manusia secara lebih baik, untuk membimbing mereka, dan untuk bisa memberikan cahaya bagi mereka, sehingga menghantarkan dia sebagai tujuannya. Nabi bersabda: "Yang paling baik di antara kamu bukan yang paling baik dan banyak ibadahnya, tapi yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain." Bahwa kita melakukan ibadah ini adalah untuk menjadi manusia yang paling efektif. Agar kita kembali ke masyarakat dengan melayani mereka secara lebih baik dan kita dapat memberikan kasih sayang kepada mereka. Bukan sebagai suatu keunggulan ego spiritual kita. Karena yang disebut dengan tauhid adalah "kesadaran kita akan kesatuan alam semesta ini. Kesatuan Allah, kesatuan alam dan kesatuan manusia." Artinya kita tidak membeda-bedakan antara manusia satu dengan yang lain. Kita tidak memandang mereka dengan sikap "rasialis." Maka ihram dalam ibadah haji, dimana seluruh manusia disamakan dalam pakaiannya, terkandung hikmah bahwa karena pakaian-pakaian manusia adalah pakaian yang memisah-misahkan mereka, yang melambangkan suatu pola dan suatu status yang membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini menimbulkan sekat-sekat yang palsu, sekat-sekat sosial yang berbeda sehingga muncul konsep "aku", yakni egoisme di antara kita. Kita hanya mengenal "aku", bukan "kita". Pola hubungan kita menjadi "aku", bukan pola hubungan "kita". Hubungan antar manusia saat ini sudah berubah dari suatu "intersubjectiviti" menjadi "interobjectivi", dimana kita melihat orang lain bukan lagi sebagai subyek, melainkan sebagai obyek, yakni sarana yang harus dieksploitasi. Jadi bisa dikatakan dengan "homo-homodilopus", bahwa manusia itu menjadi srigala satu dengan yang lainnya. Hubungan kita bukan lagi "win-win", tetapi sudah menjadi "win-lose". Manusia sudah tidak lagi memiliki empati antara satu dengan yang lain. Perbedaan-perbedaan ini telah menghapuskan ikatan persaudaraan, dan sudah menyekat tirai persamaan di antara manusia. Allah berkata: "Janganlah kamu menjadi sebagaimana orang musyrik, dimana mereka memecah agama mereka menjadi berkelompok-kelompok, yang kemudian satu sama lain bangga akan apa yang mereka miliki." Kita akhirnya menjadi istilah "qabil-habil", dimana masyarakat menjadi pecah, sehingga kita kehilangan sinergi di antara kita. Karena kita sudah kehilangan kesadaran manusia kita. Hal ini semua menjadi suatu bencana. Maka dari itu, Nabi datang selalu untuk mengingatkan kembali rasa kemanusiaan. Ketika kita melakukan ihram, kita lepas semua pakaian-pakaian kita. Kita hapus sekat-sekat, batas-batas yang semu, yang selama ini memisahkan antara yang satu dengan yang lain. Kita lepas semua, dan kita ganti dengan kain kafan, yaitu kain yang satu warna (putih). Kita menjadi satu keseragaman, bagaikan air yang masuk ke dalam lautan samudera. Kita tidak lagi membedakan satu dengan yang lain. Kita tidak lagi melihat tinggi hati saudara-saudara kita yang lain. Bahwa kita sekarang sedang berkunjung menjadi tamu Allah SWT. Kita menyadari ketidakberdayaan dan kefanaan diri kita di hadapan Allah. Kita melepaskan pakaian-pakaian yang selama ini menutupi kita untuk bisa menghantarkan ke haribaan Allah.*
|
|
|
Copyright © 2002 by GEMA DPC PPMI Tanta. All rights reserved. e-mail : [email protected]
|