Maret 2002

Media PPMI Thanta 

 
Home
Jendela
Opini
Kolom
Kajian
Renungan
Lintas Kita
Guest Book
Redaksi
 Angina
Our Link
Albume

Anda Pengunjung ke :

 

 

 

 

Kolom

Menata Cita-Cita Yang Mapan

Oleh: Hasanuddin Hasibuan

 

"Cita-citalah yang membuat orang maju", begitu kira-kira ungkapan para ahli hikmah yang sering kita dengar. Cita-cita dalam artian suatu target yang dirancang dan direncanakan untuk diraih dan dalam bahasa yang populer cita-cita juga dikatakan visi. Taktik, kiat atau mekanisme yang di buat atau di susun untuk menuju cita atau visi tersebut di namakan missi. Tanpa ada target yang pasti dalam hidup anda bersiaplah untuk tidak mendapatkan apa-apa, hidup anda berarti hampa karena tanpa tujuan.

Maka menentukan sebuah target adalah sesuatu yang harus pertamakali di lakukan sebelum berbuat segala sesuatunya.

Orang yang sudah punya cita-cita, membuat target yang harus ia capai, maka tingkah lakunya pun akan kelihatan terarah. Orang yang bercita-cita jadi kaya harta misalnya, dalam kegiatan hari-harinya kelihatan akan lebih mengarah pada soal bagaimana cara berdagang yang tepat, diapun akan kelihatan hemat dan segala kiat untuk menuju kaya ia akan lakukan demi mencapai cita-citanya.

Lain halnya dengan orang yang tidak membuat cita-cita atau target yang harus ia capai, kerja sehariannya akan kelihatan mengambang. Untuk menentukan masa depan yang barangkali semua orang seusia mahasiswa sudah selalu memikirkannya kita harus terlebih dahulu membuat cita2 yang mapan.

Di atas kita telah menjelaskan apa yang di namakan cita-cita yaitu hal yang diinginkan atau yang di targetkan untuk di raih. Namun dalam bercita-cita yang benar kita akan membuat defenisi yang lebih sempit lagi, yaitu cita-cita adalah impian yang kira-kira dapat di capai. Menjadi presiden, mentri, guru besar, menjadi orang kaya besar itu semua adalah cita-cita karena akan bisa di raih yang tetunya dengan usaha, hanya saja disana ada aturan yang menentukan sejauh mana dan apa saja yang boleh di cita-citakan sesuai dengan profesi masing-masing. Pelajar agama becita-cita jadi direktur penerbangan, ini adalah cita-cita tapi akan bisakah ini diraih secara akal? tentunya sulit, maka hal seperti ini bertentangan dengan kaedah bercita-cita.

Cita-cita yang sudah mapan tidak boleh di nodai dengan kegiatan-kegiatan yang merusak kelancaran menuju cita-cita tersebut. Orang yang memasuki jurusan syariah misalnya, tentunya dia bercita-cita untuk menjadi pakar hukum, maka tidak perlu terlalu perlu membaca tafsir terlalu banyak sampai permasalahan yang sedalam-dalamn. Namun juga pelajarilah cara mentajrih atau menta'dil hadist alakadarnya, demikian juga tak perlu terlalu mendalami buku-buku falsafah dan lain-lain kalau sementara jurusan yang di masuki terabaikan.

Contoh yang mungkin lebih jelas lagi, orang yang telah terlanjur menekuni agama, untuk apa mambuat seminar yang berjudul "Kiat mengatasi krisis ekonomi” seperti yang baru di gelar oleh sebahagian mahasiswa kita..?. Mungkin anda akan mengatakan " itukan semua ilmu, apa salahnya di baca dan di pelajari..? Anda benar, tapi disisi lain anda salah karena karena waktu anda banyak terbuang untuk hal yang tidak menunjang kemajuan menuju cita-cita anda semula, yang pada akhirnya anda akan menjadi pakar hukum tidak, pakar tafsir tidak, filosof juga tidak lebih-lebih pakar ekonomi pun juga tidak, semua serba separo-separo, mengambang, tidak bisa dipertanggung jawabkan, apakah dari segi ini anda juga benar..? kenapa tidak sekalian mendalami jurusan anda..? Bukankah seperti yang di katakan Prof Dr Yusuf Qardawi bahwa zaman sekarang zaman takhassus. Beliau juga mengatakan bahwa orang yang berfatwa dalam segala sesuatu menunjukkan bahwa dia orang bodoh. Barangkali tujuan beliau mengatakan seperti itu bahwa kalau memang tidak sanggup menguasai berbagi macam disiplin ilmu cukuplah satu jurusan saja.

Siapapun orangnya tidak akan bisa mencakup semua disiplian ilmu yang ada. Imam syafi'i yang dikenal sebagai salah satu imam mazhab betapapun kalibernya tapi dia sering menukil pendapat orang lain untuk menentukan derajat hadist yang di kemukakannya sebagai dalil suatu hukum, begitupun juga Imam Hanafi. Mengapa orang sekaliber mereka tidak sekalian mendalami ilmu tajrih dan ta'dil hadist sehingga tidak perlu taqlid kepada oranglain untuk menentukan diterima atau tidaknya sebuah hadist ? Demikianlah, bahwa semua manusia mempunyai sisi kelebihan dan kekurangan.

Maksud tulisan ini adalah mencoba untuk bertukar fikiran dengan orang yang seolah-olah kurang atau tidak mengerti kiat-kiat untuk menuju sebuah cita-cita atau bahkan tidak punya cita-cita yang pasti, terutama kita yang sekarang berada ditengah-tengah perjalanan menuju cita-cita masing-masing.

Bukan bermaksud menafikan bolehnya membaca atau mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, hal itu sah-sah saja asal jangan akhirnya mengambang, serba separo-separo sehingga bila anda kelak jadi sarjana bisa diketahui anda sebagai sarjana apa tanpa terlebih dahulu menunjukkan syahadah sarjana.

Hal lain yang juga perlu anda ketahui bahwa cita-cita dengan angan-anan sangat jauh bedanya. Cita-citaadalah keinginan yang di barengi dengan usaha sementara angan-angan adalah suatu keinginan namun tidak ada usaha untuk meraihnya. Ingin jadi ulama atau direktur, atau jadi apa saja tapi anda hanya tiduran tentu itu bukan lah cita-cita tapi hanya sekedar angan-angan.

Berbuatlah sesuatu yang bermanfaat, hindari terlalu banyak melakukan yang melalaikan sekalipun anda sesekali harus berelaksasi, terarahlah dalam beraktifitas, tekan penggunaan waktu sebisa mungkin. Wallahua’lam. *

 


          

Copyright © 2002 by GEMA DPC PPMI Tanta. All rights reserved.

e-mail : [email protected]